Kasus prostitusi online, korban kejahatan atau pelaku kejahatan?

Kasus

Polisi akhirnya menangkap artis (CA) terkait kasus prostitusi online. Peristiwa ini mengingatkan kita dengan beberapa kasus prostitusi di kalangan artis sebelumnya. 

Praktis prostitusi online kini kian marak dalam peradaban manusia, hal ini termasuk kedalam tindakan melanggar kesusilaan. Dalam literature hukum sebenarnya hanya mengenal istilah prostitusi ata pelacuran. Online prostitusi atau pelacuran yang dilakukan dalam jaringan (daring/online) merupakan suatu perbuatan hubungan seksual dengan orang lain dengan menggunakan "transaksi "yang mana transaksi ini dilakukan menggunakan media elektronik.

Pada kasus artis (CA) ini apakah dia termasuk pelaku kejahatan atau korban kejahatan? Dalam suatu kasus, jika prostitusi online ini dilakukan dengan melibatkan orang lain yang berperan untuk "memudahkan" atau memfasiitasi aktifitas prostitusi online atau disebut juga dengan (germo/mucikari) maka berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia, hanya orang yang memfasilitasi yang dapat diancam dengan Pidana.

Akan tetapi, dalam konsep kriminologi ada pula konsep kejahatan tanpa korban (victimless crime) . Mengapa? Karena dalam kasus prostitusi online ini tidak dapat ditentukan siapa yang menjadi pelaku dan siapa yang menjadi korban. Kecuali jika hubungan seksual ini dilakukan dengan paksaan, ancaman kekerasan, atau dengan tipu daya.

Namun, tetap saja dalam kasus prostitusi artis (CA) ini melanggar Pasal 27 UU ITE tersebut akan dikenai ancaman pidana seperti terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) UU No. 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Jadi dalam hal ini artis (CA) merupakan pelaku kejahatan. Disamping dia melakukan prostitusi online ini disebabkan oleh hal atau sebab lainnya. Juga disarankan artis (CA) ini melakukan rehabilitasi untuk memastikan mentalnya tersebut.

Jika kita mengacu kepada KUHP, maka tidak ada satu pasal pun yang bisa menjerat CA sebagai pelaku prostitusi online. Hal itu karena di dalam KUHP yang bisa dijerat hanya muncikari/germo yang mengambil manfaat/mendapat untung dari perbuatan prostitusi yang dimaksud (Pasal 298 KUHP). Perlu kita ketahui juga bahwa PSK/pelaku prostitusi online tidak dapat diancam dengan pidana karena perbuatan ini masuk dalam kategori victimless crime atau kejahatan tanpa korban.
Lalu bagaimana dengan UU ITE? Hal yang serupa juga terjadi pada UU ITE. Bahwa CA tetap tidak bisa dijerat dengan UU ITE terkait kegiatannya sebagai pelaku prostitusi online. Akan tetapi, yang bisa disangkakan adalah dugaan terhadap penyebaran konten yang melanggar kesusilaan (Pasal 27 Ayat (1) UU ITE). Jika dugaan itu tidak bisa dibuktikan, maka CA tidak bisa dijerat UU ITE juga. Dengan kata lain, mengacu pada ketentuan UU ITE, jika perbuatan yang dilakukan berisi pesan untuk melacurkan dirinya tetapi tidak disebarluaskan ke publik maka tidak memenuhi unsur dari pasal 27 Ayat (1) UU ITE. Kegiatan prostitusi tidak bisa ditentukan siapa pelaku dan siapa korban. Kecuali, hubungan seksual dilakukan dengan paksaan baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, atau tipu daya yang membuat seseorang terjerat dalam praktik prostitusi, atau jika pengguna layanan melakukannya dengan anak di bawah umur.

Komentar