Mengapa buruh dan masyarakat meminta untuk diterbitkan Perppu yang baru dan bukan menggantinya dengan undang-undang yang baru?
Pertama, proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang cenderung tertutup, tidak transparan, tidak akuntabel dan sangat minim melibatkan partisipasi publik. Tentunya ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan khususnya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dalam ketentuan Pasal 5 hurruf g Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-Undangan secara tegas dinyatakan, bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yaitu asas keterbukaan.
Kedua, RUU Cipta Kerja ini lebih memberikan keistimewaan kepada dunia investasi tanpa memperhatikan aspek kepentingan sosial yang lebih luas, misalnya masalah perlindungan hutan dan lingkungan. RUU ini juga tidak memperhatikan aspek nilai etik lingkungan (environmental ethics) dan tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat secara lebih luas. Secara substansi, RUU ini berwatak represif dan cenderung melanggar hak-hak warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Ketiga, mutatis mutandis dengan cara-cara yang digunakan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja ini yang cenderung tertutup, tidak transparan, tidak akuntabel dan sangat minim melibatkan partisipasi public.
Keempat, pemikiran teknis bahwa penetapan RUU Cipta Kerja melalui metode omnibus dengan membuat efisien karena sekali kerja mendapat sekian luas bidang pengaturan dapat menyesatkan karena tidak semua yang diatur adalah benda fisik seperti mengintegrasikan gedung-gedung dan ruang-ruang di dalam suatu kompleksbangunan, melainkan berhadapan dengan perbedaan sifat jasad renik/gen/virus, spesies, lanskap, kondisi sosial dan kebudayaan yang secara bersamaan menjadi tempat berbagai sector bekerja.
Kelima, kekhawatiran terhadap dampak sosial keluarnya RUU ini sangat luas khususnya di kalangan para buruh. Kalangan buruh sangat prihatin dengan RUU ini setidaknya karena perlindungan dan kesejahteraan buruh terasa diabaikan, upah minimum, pesangon & jaminan sosial yang dikurangi kualitasnya bahkan berpotensi hilang ketika praktek kerja kontrak dan outsourcing di perluas seluas-luasnya. Pada titik ini terasa sangat ironis. Sebab, masuknya investasi secara besar-besaran mestinya disambut gembira oleh para buruh. Tetapi, RUU ini justru menjadi momok bagi para buruh, khususnya karena keberpihakannya kepada buruh terasa semakin tipis, bahkan tidak ada.
Keenam, di tengah situasi pandemi Covid-19 yang sangat massif penyebarannya. Namun DPR tetap saja bertekad melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Sikap dan tindakan DPR semacam ini menunjukkan bahwa DPR tidak memiliki sense of crisisterhadap dampak negatif serangan virus tersebut yang berakibat pada perekonomian rakyat, terutama mereka yang bekerja di sektor informal
.jpg)
Komentar
Posting Komentar