Analisislah sebuah contoh kasus pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama/Negeri disertai dengan tata cara pengajuan permohonannya !
Arti pembatalan perkawinan ialah tindakan Pengadilan yang
berupa putusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak
sah (no legal force ordeclared void), sehingga perkawinan tersebut dianggap
tidak pernah ada. Dari pengertian tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan :
1. Bahwa perkawinan dianggap tidak sah (no legal force).
2. Dengan sendirinya dianggap tidak pernah ada (never existed).
3. Laki-laki dan perempuan yang dibatalkan perkawinannya tersebut dianggap
tidak pernah kawin.
Alasan-alasan pembatalan perkawinan dalam UU Nomor 1 Tahun 1974, secara
limitatif diatur dalam Pasal 22 sampai 28, dan Pasal 37 dan 38 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974.
Dari pasal-pasal di atas, dapat dirinci bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan
apabila Para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Syarat-syarat tersebut adalah :
1. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai.
2. Untuk seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun, ia harus mendapat ijin
dari kedua orang tuanya (atau wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas dalam hal orang
tua sudah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, atau oleh Pengadilan
dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara orang-orang tersebut).
3. Bagi calon suami yang berumur kurang dari 19 tahun, dan calon isteri yang
berumur kurang dari 16 tahun dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau
Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
4. Tidak melakukan perkawinan dengan orang-orang yang dilarang untuk kawin
dengannya.
contoh kassus Pembatalan Perkawinan Karena Kawin Paksa (Studi Putusan Hakim
Pengadilan Agama Arga Makmur Kelas 1B Tahun 2012 dan 2013 Nomor:
0327/Pdt.G/2012/PA.AGM dan Nomor: 0445/Pdt.G/2013/PA.AGM)
analisa tentang kasus tersebut yaitu :
1. Dari segi Aspek yuridis dan pertimbangan serta dasar hukum Pengadilan Agama
Arga Makmur tentang perkara pembatalan perkawinan karena kawin paksa, yakni
sangat sesuai dengan hukum berlaku, baik itu Kompilasi Hukum Islam atau Undang-
Undang 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dengan melihat bukti-bukti, mendengar
keterangan kedua belah pihak dan Putusan disertai dengan alasan- alasan hukum.
Hakim juga
menggunakan Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 huruf (f) yang menyatakan, “Suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila Perkawinan yang dilaksanakan dengan
paksaan”, dan Undang-Undang 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 27 ayat 1
yakni “Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar
hukum”.
2. Kawin paksa dalam hukum Islam tidak dibenarkan hal ini dapat di lihat dari
dalil nash baik dalam al-Qur’an maupun hadits, dan ijma’ ulama. Rasulullah
menetapkan suatu ketetapan hukum tentang keberadaan hak
seorang wanita dalam menentukan pasangan hidupnya, serta membatalkan hukum
suatu perkawinan yang dilandasi oleh pemaksaan dan keterpaksaanmeskipun yang
memaksa dalam hal ini adalah seorang ayah. Abu Hanifah dan para pengikutnya
menetapkan: ayah tidak boleh memaksa anak putri yang sudah dewasa untuk menikah
dengan seseorang, ayah atau wali wajib merundingkan masalah perkawinan itu
dengan anak putrinya, kalau putrinya itu mau maka akad nikanya sah, tetapai
kalau putrinya tidak mau maka tidak sah akad nikah itu. Majelis hakim dalam
menjatuhkan putusan perkara cerai talak karena adanya kawin paksa yaitu mengacu
pada Pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 3
Kompilasi Hukum Islam, Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 21, dan pasal 19 huruf f
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 junto Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum
Islam.
Tentang tata cara atau prosedur pengajuan pembatalan perkawinan, diatur dalam
Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan sbb :
1. Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan
tatacara pengajuan perceraian (ayat 2).
2. Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan
dan putusan Pengadilan dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam Pasal 20
sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini (ayat 3).
Ketentuan ini mengandung arti, bahwa permohonan pembatalan perkawinan harus
ditempuh sama dengan prosedur suatu “gugatan” atau “contentiuse jurisdictie”
yang mendudukkan dua subjek hukum sebagai Pemohon dan Termohon dalam
gugatannya, dan bukan dalam bentuk “voluntair jurisdictie”, hal ini sesuai
dengan maksud Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Memeriksa dan
mengadili permohonan pembatalan perkawinan dalam bentuk peradilan voluntair,
merupakan kesalahan dalam menerapkan hukum oleh ‘judex factie’ (hakim
pemeriksa).
Mengenai siapa saja yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, Pasal 23
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menegaskan ada 4 pihak, yakni :
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
2. Suami atau isteri.
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini dan
setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan ini putus.
Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembatalan Perkawinan:
1. Persiapan Dokumen: Pihak yang ingin mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan harus mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan. Ini mungkin
mencakup:
-Surat permohonan kepada pengadilan yang berisi alasan pembatalan perkawinan.
-Bukti-bukti yang mendukung alasan pembatalan (dokumen perkawinan sebelumnya,
bukti pemaksaan, dll.).
-Identitas dan bukti status perkawinan pihak yang terlibat.
2. Pengajuan ke Pengadilan: Permohonan pembatalan perkawinan kemudian diajukan
ke Pengadilan Agama jika kasusnya berkaitan dengan hukum keluarga Islam, atau
ke Pengadilan Negeri jika kasusnya tidak berkaitan dengan hukum keluarga Islam.
Permohonan ini akan diajukan ke pengadilan sesuai dengan wilayah domisili salah
satu pihak yang terlibat.
3. Proses Pengadilan: Pengadilan akan memproses permohonan pembatalan
perkawinan. Ini termasuk mendengarkan argumen dari kedua pihak yang terlibat,
memeriksa bukti, dan memutuskan apakah perkawinan tersebut sah atau tidak.
Pengadilan akan mempertimbangkan hukum yang berlaku dan alasan pembatalan yang
diajukan.
4. Putusan Pengadilan: Jika pengadilan memutuskan untuk membatalkan perkawinan,
maka mereka akan mengeluarkan putusan resmi yang menyatakan perkawinan tersebut
tidak sah. Ini adalah titik akhir dalam proses pembatalan perkawinan.
5. Pelaksanaan Putusan: Pihak yang bersangkutan harus melaksanakan putusan
pengadilan, seperti mungkin mengurus pencatatan perkawinan yang sudah
dibatalkan.
sumber :
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
https://www.pa-wamena.go.id/webtes/berita/berita-terkini/137-artikel/154-pembatalan-perkawinan-menurut-bw-dan-uu-nomor-1-tahun-1974
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/QIYAS/article/download/2004/1649
Komentar
Posting Komentar