BUMN: Antara Amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Realita Bisnis yang Jauh dari Harapan

 

Liputan6.com, Jakarta Kinerja BUMN sepanjang 2020 terpaksa harus terkoreksi. Hal ini dibuktikan dengan turunnya pendapatan BUMN dari Rp 2.456 triliun di 2019 menjadi Rp 1.842 triliun pada 2020. Namun perlu diketahui, pendapatan BUMN ini disumbang setidaknya hanya dari 20 BUMN. Padahal, jumlah BUMN saat ini masih 107 perusahaan.

Associate Director BUMN Research Group Lembaga Manajemen Univesitas Indonesia Dr. Toto Pranoto mengungkapkan bahwa kondisi BUMN masih Pareto. "Kondisi BUMN di Indonesia saat ini menunjukkan suatu kondisi Pareto. Dimana sekitar 80 persen dari total kontribusi pendapatan BUMN hanya disumbang oleh oleh sekitar 20 persen perusahaan saja," demikian paparan Dr. Toto Pranoto dalam acara penganugerahan Business Performance Excellence Awards (BPEA) 2021 yang digelar secara daring pada Kamis (23/9/2021).

Dari data tersebut, Toto menegaskan banyak BUMN yang belum beroperasi secara optimal. Untuk itu, Toto mendorong adanya perbaikan ke depannya, supaya kontribusi BUMN terhadap negara ini bisa meningkat. "Tentu ini perlu menjadi perbaikan kedepannya, bagaimana supaya produktivitas di setiap BUMN bisa ditingkatkan," tambahnya. Toto juga mengungkapkan bahwa performa sektor perbankan BUMN Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. "Pertumbuhan EBT Bank BUMN Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan Bank BUMN Singapura dan Malaysia, bahkan Bank BNI mencatat pertumbuhan minus sebesar 73,7 persen," papar Toto.

Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Selanjutnya, dalam Pasal 33 ayat (3), diatur bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, maka Pemerintah membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN adalah badan usaha yang melakukan kegiatan usaha berkaitan dengan kepentingan umum dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Menurut Anda,

  1. Apakah kegiatan usaha BUMN selama ini di Indonesia telah sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (2) dan (3)?
  2. Mengapa dalam praktiknya, BUMN di Indonesia banyak yang melakukan kegiatan di luar bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak?

1. Apakah kegiatan usaha BUMN di Indonesia sudah sesuai dengan amanat UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (2) dan (3)?

Secara normatif, Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara serta yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. BUMN seharusnya menjadi alat negara untuk mewujudkan kesejahteraan sosial melalui kontrol langsung terhadap sektor-sektor vital yang menyangkut kebutuhan dasar masyarakat, seperti energi, infrastruktur, serta sumber daya alam.

Namun, dalam praktiknya, sebagian BUMN di Indonesia belum sepenuhnya menjalankan fungsinya sesuai amanat UUD 1945. Banyak BUMN yang telah bertransformasi menjadi perseroan terbatas (PT) dan bahkan diprivatisasi sebagian. Sebagai contoh, beberapa BUMN yang awalnya diharapkan untuk mengendalikan sektor-sektor strategis kini menjalankan operasionalnya seperti perusahaan swasta, dengan orientasi utama pada keuntungan (profit-oriented). Transformasi ini seringkali terjadi pada sektor yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, seperti energi dan transportasi, yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang tersendiri, namun kerap kehilangan prinsip dasar pelayanan umum dalam praktiknya.

Para ahli menyoroti bahwa pengelolaan BUMN kini cenderung menyimpang dari prinsip dasar UUD 1945. Dr. Fajar Harry Sampurno, Presiden dan CEO PT. Dahana, menyatakan bahwa BUMN seharusnya berfungsi sebagai alat negara yang memfokuskan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar mencari keuntungan semata. Hal ini terlihat dari kebijakan privatisasi atau go public yang dilakukan terhadap beberapa BUMN besar, yang mengakibatkan kepemilikan saham mereka tidak sepenuhnya dimiliki negara. Dengan privatisasi ini, kontrol negara terhadap sektor-sektor penting menjadi berkurang, dan orientasi perusahaan cenderung beralih dari melayani kebutuhan masyarakat menjadi memenuhi ekspektasi pasar serta pemegang saham.

Pada intinya, kegiatan usaha BUMN di Indonesia dalam beberapa aspek bisa dianggap belum sepenuhnya sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, khususnya ketika perusahaan negara yang menguasai sumber daya alam dan layanan penting bagi masyarakat berubah orientasi menjadi berorientasi profit dan memasuki ranah yang bersaing langsung dengan sektor swasta.

2. Mengapa dalam praktiknya banyak BUMN di Indonesia yang menjalankan kegiatan di luar bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak? Berikan alasan dengan argumentasi yang kuat, didukung dengan dasar hukum serta referensi yang valid.

Ada beberapa alasan utama mengapa BUMN di Indonesia terkadang beroperasi di luar bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak:

A. Fleksibilitas dalam Merespon Perubahan Ekonomi

BUMN didorong untuk berinovasi dan bersaing di sektor-sektor yang mungkin tidak sepenuhnya vital tetapi masih relevan dengan perekonomian negara. Misalnya, dengan masuk ke bidang properti, perhotelan, dan jasa keuangan, BUMN berupaya memanfaatkan kesempatan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan yang dapat disumbangkan kepada negara. Namun, hal ini sering kali mengaburkan tujuan utama BUMN yang seharusnya mengutamakan kebutuhan dasar publik. Keterlibatan BUMN dalam bidang non-hajat hidup ini kerap dipengaruhi oleh perubahan dalam regulasi dan kebutuhan pemerintah akan pendapatan, yang mendorong diversifikasi bisnis BUMN.

B. Regulasi yang Memungkinkan Privatisasi dan Komersialisasi

Kebijakan privatisasi yang diterapkan sejak akhir 1990-an juga memberikan BUMN keleluasaan dalam menentukan arah bisnis mereka, termasuk di bidang yang tidak terkait langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat. UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN memungkinkan pembentukan anak perusahaan oleh BUMN dan partisipasi BUMN dalam sektor komersial. Ini sering kali melibatkan sektor yang berpotensi profit tinggi namun tidak sesuai dengan prinsip Pasal 33 UUD 1945. Akibatnya, banyak BUMN yang berubah fungsi, dari yang awalnya dirancang untuk memberikan layanan publik, menjadi entitas bisnis yang lebih berfokus pada kompetisi pasar dan profitabilitas.

C. Kebijakan Pemerintah yang Tidak Konsisten

Tidak adanya kebijakan yang konsisten mengenai batas-batas bidang usaha BUMN telah mengakibatkan beberapa BUMN memperluas usaha ke sektor-sektor di luar hajat hidup orang banyak. Contoh nyata adalah beberapa BUMN yang aktif di sektor properti atau layanan keuangan, meskipun bidang-bidang ini bisa dikendalikan oleh swasta. Kurangnya kebijakan yang tegas untuk mengatur pembatasan bidang usaha BUMN dapat menciptakan over-diversifikasi, sehingga tujuan utama kesejahteraan masyarakat tidak tercapai dengan optimal.

D. Desakan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara

BUMN sering kali diharapkan untuk memberikan kontribusi besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini menyebabkan sebagian BUMN mengejar sektor usaha yang berorientasi profit tinggi meskipun tidak bersinggungan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Data dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menunjukkan bahwa kontribusi BUMN ke APBN tergolong minim. Dari 91 BUMN, hanya 11 yang memberikan kontribusi signifikan. Tekanan untuk meningkatkan pendapatan negara mendorong BUMN mencari sumber pendapatan tambahan, meskipun kadang-kadang ini berarti beroperasi di luar sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak.

E. Pengaruh Politis dan Kepentingan Ekonomi

BUMN sering kali dijadikan alat politik oleh pemerintah yang berkuasa, dengan keputusan-keputusan bisnis yang tidak selalu didasari pertimbangan bisnis atau pelayanan publik yang efektif. Sebagai contoh, Zaenur Rohman dari Pusat Kajian Antikorupsi UGM menyebut bahwa keberadaan BUMN kadang dimanfaatkan untuk kepentingan politik, misalnya dalam hal penempatan pejabat atau pendanaan kampanye. Ini menciptakan situasi di mana BUMN kehilangan fokus pada pelayanan publik, dan lebih banyak diarahkan ke kepentingan non-ekonomis yang tidak selalu menguntungkan masyarakat luas.

Disimpulkan bahwa peran dan kegiatan usaha BUMN di Indonesia belum sepenuhnya sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Praktik-praktik yang berorientasi pada komersialisasi, privatisasi, dan tekanan untuk memberikan kontribusi besar terhadap APBN membuat BUMN terkadang keluar dari jalur utama pelayanan publik. Kebijakan yang mengatur batasan kegiatan BUMN dan upaya untuk menjaga independensi mereka dari kepentingan politik menjadi krusial untuk memastikan bahwa BUMN tetap berfungsi sebagai alat untuk kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar entitas bisnis yang mencari keuntungan atau instrumen politik pemerintah.

Daftar Pustaka

 

 


Komentar