Mengenal Piercing the Corporate Veil: Ketika Direksi Harus Bertanggung Jawab Pribadi Atas Utang Perusahaan
Asas-asas atau prinsip-prinsip perseroan sebagaimana diuraikan dalam Modul 2 BMP merupakan asas-asas yang berasal dari hukum asing, khususnya sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law yang mempengaruhi pengaturan hukum perseroan kita yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Perang
Dunia II telah mendorong banyaknya perubahan dalam dunia perekonomian, termasuk
asas-asas atau prinsip-prinsip perseroan sebagai pelaku penting dalam kegiatan
ekonomi, baik ekonomi nasional maupun internasioal. Asas-asas atau
prinsip-prinsip perseroan sebagaimana diuraikan dalam Modul 2 BMP merupakan
asas-asas yang berasal dari hukum asing, khususnya sistem hukum Anglo Saxon
atau Common Law yang mempengaruhi pengaturan hukum perseroan kita yang diatur
dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Asas dan prinsip
perseroan tersebut menandakan dimulainya era perseroan modern dalam bidang
ekonomi di Negara Indonesia.
Di
Indonesia, prinsip piercing the corporate veil telah
diterapkan dalam mengadili suatu perkara terkait perseroan terbatas. Salah
satunya dalam kasus antara Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal. Kasus
bermula pada saat Bank Perkembangan Asia memberikan pinjaman kredit kepada PT.
Djaya Tunggal. Perjanjian kredit tersebut diberikan dengan jaminan tanah HGB
No. 39 dan tanah HGB No. 40 berikut bangunan pabrik atas nama PT. Djaya
Tunggal. Ketika seluruh pinjaman kredit tersebut jatuh tempo, ternyata debitor
PT Djaya Tunggal tidak dapat membayar semua pinjamannya kepada Bank tersebut,
dengan alasan perusahaan PT. Djaya Tunggal telah berhenti beroperasi dan
menderita kerugian 75% (tujuh puluh lima persen) sehingga PT. Djaya Tunggal
menyatakan dirinya tidak mampu lagi membayar hutangnya kepada Bank tersebut,
debitor dalam keadaan insolvensi.
Ternyata
pengurus PT. Bank Perkembangan Asia, pemberi kredit (kreditor) adalah sama
dengan pengurus PT. Djaya Tunggal sebagai penerima kredit (debitor). Secara
diam-diam presiden komisaris PT. Djaya Tunggal telah mengalihkan hak
kepemilikan dua bidang tanah yang dijadikan jaminan kredit tersebut kepada
pihak ketiga Jahya Paedjokerto dengan Akta Notaris/PPAT Samadi No. 12, tanggal
5 Maret 1986. Ternyata kemudian Notaris/PPAT Samadi tersebut telah habis masa
jabatannya, sehingga akta pemilikan hak tersebut menjadi persoalan
keabsahannya.
Bank
kemudian meminta kepada Kantor Agraria untuk memblokir pengeluaran sertifikat
kedua bidang tanah, HGB No. 39 dan HGB No. 40 yang telah menjadi jaminan kredit
Bank yang hutangnya belum dibayar oleh debitor PT. Djaya Tungal tersebut.
Setelah diteliti ternyata kedua sertifikat HGB tersebut telah habis masa
berlakunya. Dan pada saat itu atas permohonan pihak ketiga (Jahya) yang
memperoleh hak dari presiden komisaris, pihak Kantor Agraria sedang memproses
penerbitan sertifikat baru kedua bidang tanah HGB tersebut yang habis masa
berlakunya dan masih terikat sebagai jaminan hutang PT Djaya Tunggal kepada
Bank Perkembangan Asia. Kekalutan yang melada Bank Perkembangan Asia ini
menyebabkan persoalannya ditangani oleh Bank Indonesia dengan mengubah susunan
pengurus Bank Perkembangan Asia tersebut.
Karena
merasa dirugikan dalam masalah pinjaman kredit belum dibayar oleh direktur PT.
Djaya Tunggal (wanprestasi); dan pelepasan dua bidang tanah sertifikat HGB No.
39 dan No. 40 yang terikat sebagai jaminan kreditnya PT. Djaya Tunggal oleh
salah seorang pengurusnya (Lee Darmawan) merupakan perbuatan yang melawan
hukum, maka pihak PT. Bank Perkembangan Asia mengajukan gugatan perdata di
Pengadilan Negeri.
Di tingkat
kasasi, Mahkamah Agung berpendapat bahwa pengurus PT. Djaya Tunggal adalah sama
dengan pengurus PT. Bank Perkembangan Asia sebelum Bank tersebut diambil alih
oleh Bank Indonesia karena kalah dalam kliring. Pemberian kredit oleh PT. Bank
Perkembangan Asia kepada PT. Djaya Tunggal tersebut, merupakan kredit yang
diberikan kepada perusahaan yang didirikan dan termasuk PT. Bank Perkembangan
Asia sendiri. Pemberian kredit dari Bank kepada PT. Djaya Tunggal, suatu
perusahaan yang dimiliki oleh Bank tersebut, menimbulkan dugaan adanya
persengkongkolan dan itikad buruk. Kasus yang demikian itu menurut ajaran hukum
termasuk sebagai : extension de passip atau "Piercing
the Corporate" (Lefting The Corporate Veil) yakni pembatalan
pertanggungjawaban terbatas (limited liability) dari suatu Perseroan
Terbatas (PT) dapat dibebankan kepada para pengurusnya, apabila tindakan hukum
yang mereka lakukan untuk dan atas nama PT tersebut mengandung persengkongkolan
secara itikad buruk yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Dalam kasus
ini, Mahkamah Agung menilai Pengurus PT Bank Perkembangan Asia dan sekaligus
juga pengurus PT. Djaya Tunggal dengan bersekongkol dan beritikad buruk,
meminjamkan uang kepada perusahaannya sendiri tanpa credit analysis dan
benda jaminannya diketahui sudah habis masa waktunya. Kerugian yang diderita
oleh Bank tidak hanya dibebankan kepada PT. Djaya Tunggal saja, akan tetapi
meliputi para pengurusnya secara tanggung renteng.
- Menurut Anda, seberapa jauh
asas-asas hukum perseroan yang berasal dari hukum asing tersebut
mempengaruhi pengaturan hukum perseroan kita?
- Apakah pemberlakuan sistem
Anglo Saxon ke dalam hukum perseroan kita menemukan kendala ketika
sebelumnya kita sudah terlebih dahulu memberlakukan KUHDagang yang
menganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Asas-asas
hukum perseroan yang diadopsi dari sistem hukum Anglo-Saxon, terutama
prinsip-prinsip yang tercermin dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UU PT), memberikan dampak yang signifikan terhadap
pengaturan hukum perseroan di Indonesia. Penerapan prinsip-prinsip seperti
tanggung jawab terbatas (limited liability), pemisahan antara entitas hukum
perusahaan dan pemiliknya, serta perlindungan terhadap kreditor, mencerminkan
pengaruh dari sistem hukum Anglo-Saxon terhadap struktur hukum perusahaan di
Indonesia.
Pengaruh Asas Hukum Anglo-Saxon
1. Tanggung Jawab Terbatas (Limited Liability): Salah satu prinsip inti dari
hukum perseroan dalam sistem Anglo-Saxon adalah tanggung jawab terbatas, yang
berarti bahwa pemilik perusahaan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas
utang perusahaan. Ini mendorong inovasi dan perkembangan bisnis karena
memberikan rasa aman kepada pemiliknya dari potensi kerugian yang lebih besar
daripada modal yang diinvestasikan. Dalam konteks hukum Indonesia, prinsip ini
diterapkan dalam UU No. 40 Tahun 2007, di mana pemilik perseroan terbatas (PT)
tidak dapat dimintai tanggung jawab pribadi atas utang perusahaan yang dikelola
(Pasal 3).
2. Pemisahan Entitas Hukum: Prinsip ini menjelaskan bahwa perusahaan adalah
entitas hukum yang terpisah dari pemiliknya, yang memungkinkan perusahaan untuk
bertindak dalam kapasitasnya sendiri sebagai subjek hukum—memiliki aset,
berutang, serta mengikatkan diri dalam kontrak atas namanya sendiri. Meskipun
demikian, prinsip "piercing the corporate veil" yang diadopsi dari
sistem Anglo-Saxon dapat diterapkan ketika terjadi penyalahgunaan atau penipuan
dalam penggunaan entitas hukum, seperti yang tercermin dalam kasus antara Bank
Perkembangan Asia dan PT Djaya Tunggal. Dalam kasus tersebut, pengurus
perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi jika terbukti melakukan
tindakan yang melawan hukum dengan itikad buruk (Suharso, 2020).
Kendala Penerapan Sistem Anglo-Saxon di Indonesia
Pemberlakuan prinsip-prinsip hukum yang berasal dari sistem hukum Anglo-Saxon
dalam hukum perseroan Indonesia menghadapi beberapa tantangan, mengingat
Indonesia sebelumnya menganut sistem hukum Eropa Kontinental melalui Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Beberapa kendala yang dihadapi antara lain:
1. Perbedaan Paradigma Hukum: Hukum Eropa Kontinental lebih mengutamakan
kepastian hukum dan perlindungan terhadap kreditor, sedangkan sistem
Anglo-Saxon lebih mengutamakan fleksibilitas dan perlindungan terhadap pemilik
perusahaan. Perbedaan ini dapat menimbulkan ketidakselarasan dalam penerapan
prinsip-prinsip hukum tersebut, baik dalam teori maupun praktik.
2. Kultur Bisnis dan Hubungan Sosial: Budaya bisnis di Indonesia yang cenderung
lebih mengutamakan hubungan personal dan kepercayaan dapat bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum yang lebih kaku dan formal dari sistem Anglo-Saxon.
Ketergantungan pada hubungan sosial yang kuat bisa membuat penerapan
prinsip-prinsip ini dalam praktik sehari-hari lebih sulit.
3. Penegakan Hukum yang Lemah: Penegakan hukum di Indonesia sering kali
terhambat oleh korupsi dan ketidaktransparanan, yang menjadi kendala utama
dalam implementasi prinsip-prinsip hukum perseroan yang diadopsi dari sistem
Anglo-Saxon. Kasus Bank Perkembangan Asia dan PT Djaya Tunggal menunjukkan
bahwa meskipun prinsip-prinsip ini ada, penerapannya sering kali terganjal oleh
praktik yang tidak sesuai dengan standar hukum yang diharapkan.
Secara keseluruhan, asas-asas hukum perseroan yang berasal dari sistem hukum
Anglo-Saxon telah memberikan pengaruh signifikan terhadap pengaturan hukum
perseroan di Indonesia, terutama dalam hal tanggung jawab terbatas dan
pemisahan entitas. Meskipun demikian, penerapan prinsip-prinsip ini tidak tanpa
kendala, terutama terkait dengan perbedaan paradigma hukum, budaya bisnis, dan
penegakan hukum yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan upaya
penyesuaian dan reformasi dalam sistem hukum Indonesia untuk mengakomodasi
kebutuhan dan karakteristik lokal.
Referensi
• Suharso, A. (2020). "Hukum Perseroan di Indonesia: Antara Teori dan
Praktik." Jurnal Hukum dan Pembangunan, 50(1), 45-60.
• UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
• Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
• Soekanto, S. (2010). Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Rajawali Pers.
• Marzuki, P. M. (2011). Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
• MODUL HKUM4303
Komentar
Posting Komentar