(Caesar Akbar : Selasa, 20 November 2018)
TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan menyita Gedung Granadi milik Keluarga Cendana. Penyitaan itu
dilakukan guna menjalankan putusan Mahkamah Agung atas gugatan Kejaksaan Agung
terhadap Yayasan
Supersemar milik Keluarga Cendana. Juru bicara Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Achmad Guntur mengatakan Yayasan Supersemar
digugat Kejaksaan Agung secara perdata pada 2007 atas dugaan penyelewengan dana
beasiswa pada berbagai tingkatan sekolah yang tidak sesuai serta dipinjamkan
kepada pihak ketiga. "Gedung Granadi sudah resmi disita oleh eksekutor,"
tuturnya, Senin, 19 November 2018.
Kasus penyelewengan dana beasiswa itu ditemukan Kejaksaan
Agung pada 1998 alias pasca lengsernya Presiden Soeharto, sang pendiri yayasan.
Kala itu, Yayasan Supersemar adalah satu dari tujuh yayasan yang
diduga melakukan penyimpangan dana. Total dana yang diselewengkan tujuh yayasan itu
berjumlah sekitar Rp 1,4 triliun dan US$ 420 juta.
Fulus dari tujuh yayasan itu
disalurkan ke perusahaan milik anak-anak dan orang dekat Soeharto mulai 1985
hingga 1998. Padahal, menurut Kejaksaan, dana yang masuk ke rekening yayasan tersebut
merupakan uang negara karena dihimpun dengan peraturan pemerintah. Yayasan Supersemar
didirikan pada 16 Mei 1974 dengan "modal awal" Rp 10 juta dari
Presiden Soeharto. Di atas kertas, misi yayasan ini
adalah membantu siswa berbakat yang tak mampu membiayai studinya. Untuk
menghimpun dana, Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun
1976. Soeharto mewajibkan semua bank pelat merah menyisihkan 2,5 persen laba
bersihnya untuk yayasan yang
dia dirikan.
Lewat Yayasan Supersemar,
Soeharto menyebar US$ 420 juta dan Rp 185 miliar. Penerimanya antara lain PT
Sempati Air milik Tommy Soeharto; PT Kiani Sakti dan Lestari milik Bob Hassan;
Grup Nusamba, yang juga milik Bob Hassan; Bank Duta; dan kelompok usaha
Kosgoro. Bank Duta—yang telah kolaps—merupakan penerima dana terbesar, sekitar
US$ 420 juta.
Kendati telah ada temuan penyimpangan duit negara oleh yayasan,
pengusutan perkara itu tak berjalan mulus. Pasalnya, pengusutan itu tidak lepas
dari tarik ulur berbagai kepentingan. Misalnya saja pada 11 Oktober 1999, Jaksa
Agung Andi M. Ghalib malah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan.
Alasan Andi, tuduhan Soeharto menilap uang negara via ketujuh yayasan tak
terbukti.
Namun, dua bulan kemudian, Presiden Abdurrahman Wahid
memerintahkan pengusutan dana Supersemar dan kekayaan Soeharto lainnya dibuka
lagi. Kejaksaan Agung menetapkan Soeharto sebagai tersangka pada 31 Maret 2000.
Pada Agustus tahun itu, perkara masuk tahap penuntutan. Namun persidangan
berhenti di tengah jalan karena Soeharto dianggap sakit otak permanen. Mentok
di jalur pidana, pada 9 Juli 2007 Kejaksaan Agung menggugat Soeharto secara
perdata. Yayasan Supersemar termasuk yang digugat jaksa.
Hasilnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan
jaksa. Yayasan Supersemar dihukum membayar ganti rugi US$ 315
juta dan Rp 139,2 miliar. Adapun Soeharto kembali lolos dari gugatan.
Pertimbangan majelis hakim, Soeharto menggangsir uang negara atas nama Yayasan Supersemar.
Putusan hakim yang mengalahkan Yayasan Supersemar
bertahan sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Namun, dalam putusan kasasi
yang diketuk pada 2010, terdapat kesalahan pengetikan. Nilai ganti rugi yang
harus dibayarkan Yayasan Supersemar
tertulis US$ 315 juta dan Rp 139,2 juta, padahal seharusnya Rp 139,2 miliar.
Karena kesalahan ketik tersebut, jaksa tak mengeksekusi putusan yang sebenarnya
sudah berkekuatan hukum tetap itu. Lima tahun kasus Supersemar mengendap, pada
Maret 2015 Kejaksaan Agung mengajukan permohonan peninjauan kembali. Majelis
hakim Suwardi, Soltoni, dan Mahdi Sorinda memperbaiki salah ketik pada putusan
kasasi 2010. Ganti rugi yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar
menjadi US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar—total sekitar Rp 4,4 triliun dalam
kurs saat itu.
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi pada 2015 lalu
mengatakan putusan peninjauan kembali perkara Supersemar diputus majelis hakim
secara bulat. "Tak ada perbedaan pendapat." Karena hanya memperbaiki
salah ketik, menurut Suhadi, peninjauan kembali kasus Supersemar tergolong
mudah. "Saya bingung juga, mengapa jaksa baru mengajukan permohonan
peninjauan kembali tahun ini?" ujar Suhadi. Pengacara Yayasan Supersemar,
Denny Kailimang, mengatakan pasca putusan itu tak ada lagi langkah hukum yang
bisa diambil yayasan untuk
mempertahankan asetnya. "Putusan hukum sudah final," katanya kala
itu. Masalahnya, menurut Denny, pundi-pundi Yayasan Supersemar
tak memadai untuk membayar semua ganti rugi itu.
Berdasarkan perkiraan Denny, total aset Yayasan Supersemar
paling banter hanya Rp 1 triliun. "Kalau kejaksaan dan pengadilan mau
mengejar sampai perusahaan penerima dana, terserah mereka," ujar Denny.
Sumber :
https://bisnis.tempo.co/read/1148006/gedung-granadi-disita-begini-awal-mula-kasus-yayasan-supersemar
Soal diskusi tentang Yayasan:
Setelah membaca contoh kasus yayasan yang
paling populer di atas,
- Berikanlah
sebuah kasus nyata tentang yayasan lainnya yang menarik untuk dikaji. Cari
kasus yayasan yang dalam praktiknya memiliki tujuan dan
atau kegiatan pendiriannya tidak sesuai dengan UU Yayasan!
- Berikan
analisa hukum anda tentang pelanggarannya dengan mengaitkan dengan
ketentuan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia!
- Soal
diskusi tentang Hukum Persaingan Usaha: Menurut pemahaman
dan pengamatan Anda, apakah sejauh ini KPPU telah berperan dengan baik
untuk menegakkan hukum persaingan usaha melalui putusan-putusan perkara
persaingan tidak sehat di Indonesia?
Jawaban 1
Yayasan Aksi
Cepat Tanggap (ACT) merupakan sebuah lembaga kemanusiaan yang cukup dikenal di
Indonesia karena aktif dalam berbagai program bantuan sosial dan kemanusiaan,
baik di dalam negeri maupun luar negeri. Yayasan ini
awalnya berdiri dengan tujuan mulia: menyalurkan dana dari masyarakat untuk
membantu korban bencana, masyarakat miskin, dan program sosial lainnya. Namun,
seiring berjalannya waktu, muncul berbagai persoalan serius yang menunjukkan
bahwa praktik pengelolaan di dalam yayasan tersebut
tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hukum yayasan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pada tahun 2022, terkuak fakta bahwa sebagian besar dana yang dihimpun dari
masyarakat oleh ACT justru digunakan untuk kepentingan di luar misi sosial yang
seharusnya dijalankan. Berdasarkan hasil investigasi dan pelaporan media,
ditemukan bahwa sebagian dana digunakan untuk membayar gaji pengurus dengan
jumlah yang sangat besar, serta untuk pembelian aset-aset yang tidak
berhubungan langsung dengan kegiatan sosial kemanusiaan. Dalam laporan tersebut
disebutkan bahwa gaji untuk petinggi yayasan bisa
mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan, sementara sebagian besar
dana berasal dari donasi publik yang seharusnya disalurkan sepenuhnya kepada
masyarakat yang membutuhkan.
Hal ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
yang menekankan bahwa kekayaan yayasan hanya
dapat digunakan untuk mencapai tujuan pendiriannya, yaitu kegiatan sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU
Yayasan disebutkan
bahwa “Yayasan dilarang membagikan hasil kegiatan usaha kepada
pembina, pengurus, dan pengawas yayasan.”
Dengan demikian, praktik seperti pemberian gaji besar yang tidak proporsional
dan penggunaan dana untuk kepentingan pribadi dapat dikategorikan sebagai
bentuk pelanggaran hukum.
Selain pelanggaran terhadap UU Yayasan,
kasus ACT juga memperlihatkan lemahnya pengawasan internal dan eksternal
terhadap lembaga-lembaga filantropi. Meskipun menerima dan mengelola dana
publik dalam jumlah besar, pengelolaan yayasan tidak
dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Akibatnya, publik menjadi ragu
terhadap kredibilitas lembaga sosial lainnya, dan ini menurunkan tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap kegiatan filantropi secara umum.
Dalam perspektif hukum, tindakan para pengurus yayasan tersebut
dapat menimbulkan pertanggungjawaban pidana maupun perdata. Jika terbukti ada
unsur penipuan atau penggelapan dana, maka mereka dapat dikenai sanksi sesuai
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di sisi lain, secara
perdata, yayasan juga dapat digugat untuk mengembalikan dana yang
disalahgunakan.
Kasus ini menjadi contoh konkret bagaimana penyimpangan dalam pengelolaan yayasan dapat
menimbulkan konsekuensi serius, baik secara hukum maupun moral. Hal ini menjadi
pengingat penting bagi seluruh pengurus yayasan agar
selalu mengedepankan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance),
seperti transparansi, akuntabilitas, integritas, dan kepatuhan terhadap
regulasi. Yayasan yang didirikan untuk kepentingan publik tidak
boleh disalahgunakan sebagai sarana untuk memperkaya diri atau kelompok
tertentu.
Jawaban 2
Yayasan Supersemar,
yang didirikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1974, secara resmi bertujuan
untuk memberikan bantuan beasiswa kepada siswa-siswa yang berprestasi namun
kurang mampu. Namun, dalam praktiknya, yayasan ini
terbukti telah menyalurkan dana dalam jumlah besar kepada berbagai perusahaan
milik keluarga Soeharto dan kroninya.
Hal ini bertentangan langsung dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan jo.
UU No. 28 Tahun 2004, khususnya Pasal 5 ayat (1) yang secara tegas menyatakan:
“Yayasan dilarang membagi hasil kegiatan usaha kepada
pembina, pengurus, dan pengawas yayasan.”
Pelanggaran terhadap norma ini menunjukkan bahwa Yayasan Supersemar
menyimpang dari prinsip-prinsip dasar pendirian yayasan sebagai
badan hukum nirlaba yang bersifat sosial. Penggunaan dana yayasan untuk
kepentingan pribadi atau korporasi yang terafiliasi dengan pendiri jelas
bertentangan dengan asas-asas tata kelola yayasan yang
baik.
Tindakan Yayasan Supersemar yang mengalihkan dana beasiswa kepada
entitas bisnis yang tidak relevan dengan tujuan yayasan merupakan
bentuk Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata):
"Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut."
Dalam konteks ini, elemen-elemen PMH terpenuhi:
1. Perbuatan melawan hukum: pengalihan dana kepada perusahaan yang tidak sesuai
dengan peruntukannya;
2. Kesalahan (schuld): ada niat atau kelalaian dalam penggunaan dana publik;
3. Kerugian: negara mengalami kerugian dalam jumlah besar;
4. Kausalitas: terdapat hubungan sebab-akibat antara tindakan yayasan dan
kerugian negara.
Oleh karena itu, pengadilan mengabulkan sebagian gugatan perdata yang diajukan
oleh Kejaksaan Agung, dan menghukum Yayasan Supersemar
untuk membayar ganti rugi senilai US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar, sesuai
putusan Mahkamah Agung dalam perkara perdata tersebut.
Meski Kejaksaan Agung memilih jalur gugatan perdata, secara substantif kasus
ini mengandung unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana didefinisikan
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama dalam Pasal 2 Ayat (1):
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara..."
Dari data yang ada, terlihat jelas bahwa dana yayasan berasal
dari keuntungan BUMN yang disisihkan melalui kebijakan pemerintah (PP No. 15
Tahun 1976), sehingga dapat dikategorikan sebagai uang negara. Dana tersebut
kemudian digunakan untuk memperkaya perusahaan-perusahaan milik individu
tertentu, tanpa melalui prosedur hukum yang sah. Hal ini secara hukum memenuhi
unsur korupsi, meskipun proses penegakan hukumnya terhambat oleh dinamika
politik dan alasan kesehatan tersangka utama (Soeharto).
Eksekusi putusan terhadap Yayasan Supersemar
sempat terhambat karena terdapat kesalahan ketik dalam putusan kasasi Mahkamah
Agung tahun 2010. Dalam putusan tersebut, ganti rugi tercatat hanya Rp 139,2
juta, padahal yang benar adalah Rp 139,2 miliar.
Kesalahan ini kemudian diperbaiki melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK)
oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2015, dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Hal
ini sesuai dengan ketentuan Pasal 67 huruf h Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung jo. perubahannya, yang memperbolehkan pengajuan PK
apabila terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.
Putusan PK kemudian menjadi dasar bagi Kejaksaan untuk mengeksekusi putusan
dengan cara menyita aset-aset Yayasan Supersemar,
termasuk Gedung Granadi milik keluarga Soeharto di Jakarta.
Langkah Kejaksaan dalam menyita aset Yayasan Supersemar
merupakan bentuk pelaksanaan putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht). Hal ini sah secara hukum berdasarkan ketentuan dalam:
Pasal 195 HIR (Herzien Inlandsch Reglement):
“Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan, dan
apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, maka eksekusi dilakukan oleh
pengadilan melalui juru sita.”
Mengingat Yayasan tidak memiliki cukup dana tunai untuk membayar
ganti rugi (dalam pengakuannya hanya memiliki aset sekitar Rp 1 triliun), maka
penyitaan aset menjadi langkah logis dan sah secara hukum untuk memulihkan
kerugian negara.
Jawaban 3
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga independen yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPPU memiliki mandat utama untuk
memastikan bahwa pelaku usaha menjalankan kegiatan bisnis secara adil dan
kompetitif, tanpa penyalahgunaan posisi dominan, kolusi, atau praktik tidak
sehat lainnya. Seiring berjalannya waktu, efektivitas KPPU dalam menjalankan
fungsi penegakan hukum menjadi sorotan, khususnya dalam konteks membangun iklim
usaha yang sehat dan efisien di pasar Indonesia.
Peran Positif KPPU dalam Penegakan Hukum Persaingan
1. Aktif Menangani Kasus-Kasus Strategis
Sejak beroperasi, KPPU telah menangani berbagai perkara besar yang mencakup
dugaan kartel, penyalahgunaan posisi dominan, pengaturan tender (bid rigging),
dan integrasi vertikal yang berpotensi merugikan konsumen. Contoh yang cukup
menonjol adalah perkara kartel daging sapi dan kartel tarif maskapai
penerbangan domestik. Dalam kasus-kasus ini, KPPU berhasil membuktikan adanya
persekongkolan antar pelaku usaha dalam mengatur harga, yang berdampak langsung
terhadap daya beli masyarakat. Keberanian KPPU menindak pelaku usaha besar
menunjukkan komitmen institusi ini terhadap penegakan prinsip persaingan sehat.
2. Menunjukkan Independensi dan Keberanian
KPPU memiliki otonomi dalam mengambil keputusan tanpa intervensi dari
eksekutif. Dalam beberapa kasus, KPPU tetap menjatuhkan sanksi kepada pelaku
usaha besar, termasuk BUMN dan perusahaan swasta multinasional, yang terbukti
melanggar prinsip-prinsip persaingan. Hal ini mencerminkan bahwa KPPU cukup
berani dan konsisten dalam menjalankan tugasnya, meskipun seringkali dihadapkan
pada tekanan dari kelompok berkepentingan.
3. Advokasi dan Reformasi Kebijakan
Selain melakukan penindakan, KPPU juga gencar melakukan advokasi kebijakan
persaingan. Tujuannya adalah mendorong pemerintah, baik di tingkat pusat maupun
daerah, agar menyusun regulasi yang pro-persaingan dan tidak menciptakan
hambatan masuk bagi pelaku usaha baru. Kegiatan ini penting untuk memastikan
bahwa hukum persaingan tidak hanya ditegakkan secara represif, tetapi juga
secara preventif melalui pembenahan sistem kebijakan.
Tantangan dan Keterbatasan KPPU
1. Kekuatan Hukum Putusan Masih Lemah
Meskipun KPPU dapat menjatuhkan putusan dan denda, banyak putusan yang kemudian
digugat ke Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, di mana tak jarang putusan
KPPU dibatalkan atau dikurangi. Hal ini menimbulkan kesan bahwa putusan KPPU
belum memiliki daya eksekusi yang kuat, terutama saat berhadapan dengan
perusahaan besar yang memiliki sumber daya hukum lebih besar.
2. Sumber Daya Manusia dan Teknologi Terbatas
Sebagai lembaga yang mengawasi seluruh sektor usaha di Indonesia, KPPU masih
menghadapi keterbatasan dalam hal jumlah penyelidik, investigator, dan
kemampuan digital forensik. Sementara pelanggaran persaingan semakin kompleks,
terutama dengan munculnya ekonomi digital, KPPU perlu memperkuat kapasitas
teknis dan teknologinya agar dapat merespons pelanggaran secara lebih efektif
dan efisien.
3. Sanksi Kurang Memberikan Efek Jera
Besaran denda administratif yang dijatuhkan KPPU kepada pelanggar masih
tergolong rendah bila dibandingkan dengan potensi keuntungan yang diperoleh
pelaku usaha dari praktik pelanggaran tersebut. Akibatnya, banyak perusahaan
tidak merasa jera dan bahkan menganggap sanksi tersebut sebagai bagian dari
biaya bisnis (cost of doing business).
Secara umum, KPPU telah memainkan peran penting dan menunjukkan komitmen yang
cukup kuat dalam menegakkan prinsip persaingan usaha yang sehat di Indonesia.
Namun demikian, agar peran tersebut menjadi lebih efektif dan memberikan dampak
yang lebih luas, perlu dilakukan beberapa langkah penguatan, antara lain:
1. Revisi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, untuk memperkuat kewenangan KPPU,
khususnya dalam aspek eksekusi putusan dan peningkatan besaran sanksi;
2. Penguatan kapasitas kelembagaan, baik dari sisi SDM, teknologi, maupun
anggaran;
3. Sinergi dengan lembaga lain, seperti kepolisian, kejaksaan, dan lembaga
pengadilan, agar putusan KPPU tidak melemah di tingkat banding atau kasasi;
4. Edukasi dan literasi hukum persaingan kepada pelaku usaha dan masyarakat
untuk mencegah pelanggaran sejak dini.
Dengan pembenahan di atas, diharapkan KPPU dapat menjalankan perannya secara lebih
maksimal sebagai pengawal persaingan yang adil di pasar Indonesia.
Sumber referensi:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
2. Website Resmi KPPU – https://kppu.go.id
3. Nurcahyo, R. & Rachman, A. (2020). Peran KPPU dalam Menjaga Persaingan
Usaha Sehat di Indonesia, Jurnal Hukum dan Ekonomi.
4. Liputan6.com. (2019). "KPPU Ungkap Kartel Tiket Pesawat, Lion dan
Garuda Terlibat".
5. Kompas.com. (2020). "Putusan KPPU Sering Dibatalkan, Ini
Masalahnya".
6. OECD Competition Assessment Reviews: Indonesia (2018)
Komentar
Posting Komentar